JOMBANG – Suasana khidmat menyelimuti pembukaan Pendidikan dan Latihan Khusus (Diklatsus) terpadu Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di lapangan Desa Murukan, Kecamatan Mojoagung, Jombang, Jumat (11/7/2025). Sebanyak 252 kader muda dari berbagai wilayah di Jawa Timur mengikuti pelatihan tiga satuan sekaligus mulai dari Provost, Balantas (Pengamanan Lalu Lintas), dan Bagana (Penanggulangan Bencana).
Pelatihan ini digelar oleh PC GP Ansor Jombang bersama Satkorcab Banser Jombang selama tiga hari, mulai tanggal 11 sampai 13 Juli 2025. Untuk pertama kalinya, pelatihan ini melibatkan tiga satuan Banser secara terpadu dalam satu gelombang pelatihan.
Kepala Satkorwil Banser Jawa Timur, H. Rizza Ali Faizin, menegaskan bahwa pelatihan ini bukan sekadar memperkuat kemampuan teknis kader, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai ideologis yang menjadi fondasi Banser.
“Banser itu harus siap menjadi tameng, bukan beban. Yang menertibkan jangan sampai minta diurus,” ujarnya tegas saat membuka pelatihan.
Diklatsus kali ini menekankan penguatan tiga nilai utama dalam kaderisasi Banser, yakni Setia, Siaga, dan Satria. Nilai Setia diartikan, patuh dan taat menjaga marwah organisasi dan para kiai tanpa pamrih. Satuan Provost didorong menegakkan kedisiplinan secara konsisten, termasuk kepada sesama anggota.
Nilai Siaga menjadi landasan kerja bagi Balantas dan Bagana. Di tengah meningkatnya potensi bencana dan insiden jalan raya, Banser dilatih untuk responsif, tenang, dan empatik dalam menjalankan tugas.
Sementara nilai Satria menjadi cerminan keberanian dan kesetiaan kader Banser dalam menjaga NKRI dan Nahdlatul Ulama. Banser ditempatkan sebagai garda terdepan dalam menjaga moral, sosial, dan keutuhan bangsa.
“Banser tidak boleh lengah. Siap siaga adalah harga mati,” tegas Rizza.
Sementara, Ketua PC GP Ansor Jombang, Gus Fiqi, menyampaikan pentingnya membangun kesadaran jangka panjang dalam berorganisasi.
“Yang kita pikirkan bukan apa yang kita peroleh, tapi apa yang akan kita tinggalkan untuk generasi setelah kita,” katanya.
Para peserta Diklatsus ini berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari kalangan santri, buruh pabrik, petani, guru ngaji, hingga sopir. Mereka datang bukan karena diperintah, melainkan karena panggilan hati untuk mengabdi.
Para kader tidak hanya membawa kemampuan teknis, tetapi juga kesadaran tentang arti pengabdian tanpa syarat. Banser, bagi mereka, bukan sekadar barisan, tapi bentuk cinta kepada para kiai dan negeri.
Salah satu peserta mengatakan, cinta yang mereka tanam saat ini sudah menyatu hingga membuat mereka rela berjaga di tengah malam saat istighotsah, mengangkut beras ke rumah warga saat banjir, meski kerap dicibir.
‘Nek wes milih urip dadi Banser, ojo setengah-setengah. Iki laku jihadmu.” (Kalau sudah memilih jalan Banser, jangan setengah hati. Ini jalan jihadmu.). Banser itu bukan tentara bersenjata. Tapi Banser punya cinta,” ucap salah atau peserta Diklatsus, yang mengaku menirukan pesan dari ibunya sembari memandangi seragamnya yang berdebu.