Kediri – Di tengah gempuran tantangan zaman, ada secercah harapan yang mulai bersinar dari tanah santri Kediri Raya. Universitas Islam Kadiri (Uniska) menggandeng puluhan pesantren untuk membuka akses pendidikan tinggi bagi para santri bukan hanya di dalam negeri, tapi hingga ke luar negeri. Tujuannya sederhana namun visioner: agar santri tak hanya mondok, tapi juga sarjana dan bahkan bisa go internasional.
Langkah nyata dari visi tersebut terwujud dalam bentuk program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Summer School di Universiti Teknologi MARA (UiTM) Malaysia yang dijadwalkan berlangsung pada akhir 2025. Program ini akan melibatkan lebih dari 50 peserta, dengan keberangkatan awal 35 santri dari berbagai pesantren di kawasan Kediri Raya.
“Ini bagian dari mimpi besar kami,” ungkap Rektor Uniska, Prof. Bambang Yulianto. “Kami ingin santri tetap menjadi santri, tapi juga punya kesempatan menjadi sarjana, bahkan melangkah ke dunia internasional.”
Salah satu kekuatan utama program ini adalah fleksibilitasnya. Para santri tak perlu keluar dari pesantren hanya demi kuliah. Dengan skema kuliah sambil mondok, mereka tetap bisa menjalankan rutinitas keagamaan sekaligus menyerap ilmu akademik secara formal.
Hal ini menjawab tantangan klasik yang dihadapi banyak santri setelah lulus tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTS) atau Aliyah (MA). Tak sedikit dari mereka yang terpaksa meninggalkan pesantren karena tidak tersedia jalur pendidikan tinggi yang akomodatif terhadap kehidupan santri.
“Bahkan yang sudah lulus dari pondok, bisa tetap tinggal di pesantren untuk menambah ilmu sambil kuliah,” tambah Prof. Bambang.
Program ini bukan sekadar inisiatif kampus. Sekitar 70 pesantren di Kediri, Blitar, Tulungagung, Nganjuk, hingga Ponorogo telah menyatakan dukungan. Mereka tidak hanya mengizinkan santrinya berkuliah, tapi juga berkomitmen menjadi bagian dari proses pembinaan akademik dan spiritual secara berkelanjutan.
Beberapa pesantren tersebut bahkan memiliki keterikatan historis dengan Uniska, baik dari segi sanad keilmuan maupun hubungan kelembagaan. Ini menjadi kekuatan sosial yang memperkuat fondasi program kolaboratif ini.
Kyai Anwar, salah satu tokoh pesantren yang hadir dalam pertemuan koordinasi dengan Uniska, menekankan pentingnya perubahan cara pandang di lingkungan pesantren terhadap pendidikan tinggi.
“Pendidikan tinggi bukan sekadar gelar,” tegas beliau. “Tapi wasilah jalan untuk menjadi lebih bermanfaat bagi umat.”
Dengan inisiatif ini, Uniska bukan hanya mengajar di ruang kelas. Mereka sedang menanam benih perubahan di akar rumput: mengangkat derajat santri tanpa mencabut akar pesantrennya.
Santri kini tak lagi dihadapkan pada pilihan biner: mondok atau kuliah. Mereka bisa melakukan keduanya—dan suatu hari nanti, bisa berdiri di forum internasional, membawa semangat pesantren dari kampung ke kancah global.