Kediri — Di balik kepulan asap harum nasi dan usus bakar yang mengepul hangat, sosok bersahaja Pak Dhe Nug menyambut satu per satu pelanggan dengan senyum ramah. Di pojok Pasar Wates, Kediri, angkringannya yang bernama Angkringan Ginastel telah menjadi langganan malam bagi banyak warga selama dua tahun terakhir.
“Kalau rame, ya lanjut terus sampai dini hari,” ujarnya santai pada Jumat malam, (30/5/2025). Saat itu, jarum jam menunjukkan pukul 23.00, dan arus pembeli masih terus berdatangan.
Sejak Pasar Wates direlokasi oleh Mas Bupati, denyut ekonomi kawasan ini seperti tak pernah tidur. Siang hari untuk transaksi kebutuhan pokok, malam hari berubah menjadi surganya pecinta kuliner, terutama penggemar bakaran tradisional.
Di sinilah Angkringan Ginastel mengambil peran: menyajikan menu-menu bakaran khas yang menggoda, mulai dari nasi bakar, usus bakar, sosis bakar, kepala ayam bakar, brutuh bakar, hingga tempuran bakar. Semua disajikan hangat di atas bara arang, dengan sentuhan rasa rumahan yang kuat. Tak lupa, tersedia juga kopi dan teh racikan khas, pas diseruput di tengah udara malam yang bersahabat.
“Harganya murah, kok. Mulai dari Rp3.000 sampai paling mahal Rp5.000,” terang Mbah Nug, yang ternyata juga seorang jurnalis.
Di balik apron dan bara api, tak banyak yang tahu bahwa Pak Dhe Nug dulunya adalah jurnalis. Dunia tulis-menulis ia geluti bertahun-tahun, sebelum akhirnya memilih membakar brutuh dan meracik kopi sebagai jalan hidup barunya.
Pada hari biasa, ia dibantu dua orang. Satu menangani bagian pembakaran, satu lagi khusus meracik minuman.
“Sudah tahu tugas masing-masing,” ujarnya singkat. Namun ketika akhir pekan tiba, jumlah pembeli bisa melonjak tajam. Ia pun menambah tenaga ekstra untuk menjaga kecepatan sekaligus kualitas layanan.
Namun Ginastel bukan sekadar tempat makan. Meja panjang dari kayu, bangku sederhana, dan tikar bagi yang ingin lesehan, semua dirancang untuk mengundang orang berbagi cerita. Ditemani lampu temaram dan suara riuh pengunjung, angkringan ini menjelma menjadi ruang hangat tempat pertemuan, tawa, dan kenangan.
Kini, Pasar Wates dikenal sebagai pasar 24 jam. Siang dan malam berjalan berdampingan, dan angkringan seperti Ginastel menjadi denyut jantung malamnya. Bagi banyak orang, aroma nasi bakar dan kopi hangat dari Pak Dhe Nug bukan sekadar sajian perut, melainkan cerita. Cerita tentang rasa, pertemuan, dan bagaimana satu meja panjang bisa menyatukan banyak kepala yang berbeda.